Yusri Abubakar: Hengkangnya Investor Norwegia di Halmahera Adalah Tamparan Keras bagi Pemerintah Indonesia
Ternate, Exposedaily.id – Sekretaris DPD GRIB JAYA Maluku Utara, Yusri Abubakar, menyoroti hengkangnya investasi besar asal Norwegia, Government Pension Fund Global (GPFG) — dana pensiun milik negara tersebut yang dikenal sebagai salah satu investor paling beretika di dunia.
GPFG resmi mencabut investasinya dari Eramet SA, perusahaan tambang asal Prancis yang memiliki usaha patungan dengan PT Weda Bay Nickel (WBN) di Halmahera Tengah. Keputusan itu diambil karena aktivitas tambang nikel di wilayah tersebut dinilai menimbulkan risiko serius terhadap lingkungan serta mengancam keberadaan masyarakat adat O’Hongana Manyawa (Suku Tobelo Dalam) yang selama ini mendiami hutan Halmahera.
“Norwegia mundur karena melihat fakta di lapangan yang bikin nangis. Konsesi tambang nikel di Halmahera mencapai 45.065 hektar, dan sekitar 31 ribu hektar di antaranya adalah ekosistem hutan yang terancam hilang. Belum lagi risiko peminggiran masyarakat adat yang terisolasi dari habitatnya. Ini sangat ironis,” ujar Yusri Abubakar, dalam keterangan resminya di Ternate.
Menurut Yusri, keputusan GPFG bukan semata urusan bisnis, tetapi merupakan peringatan moral bagi Indonesia. Dunia kini menuntut tanggung jawab etika dalam pengelolaan sumber daya alam. Sementara di Indonesia, eksploitasi nikel masih dijalankan dengan paradigma lama pembangunan yang mengorbankan manusia dan lingkungan.
“Dunia sedang mengejar energi bersih dengan mobil listrik, tapi nikel untuk membuat baterai itu diperoleh dengan cara-cara yang tidak ramah sosial dan lingkungan. Mereka bilang transisi energi, tapi yang terjadi justru transisi ketidakadilan,” tegasnya.
Yusri menilai, langkah Norwegia ini harus dijadikan momentum refleksi nasional. Ia menyebutnya sebagai “tamparan keras” bagi pemerintah Indonesia yang masih menganggap perusakan hutan dan penggusuran masyarakat adat sebagai konsekuensi wajar pembangunan.
Yusri Abubakar mengusulkan sejumlah langkah strategis agar tata kelola tambang nikel di Halmahera menjadi lebih berkeadilan dan berkelanjutan:
- Moratorium Tambang di Kawasan Hutan. Pemerintah harus segera menghentikan persetujuan penggunaan kawasan hutan, terutama di daerah aliran sungai (DAS) kritis seperti Ake Kobe, serta melakukan evaluasi total terhadap seluruh izin tambang di Halmahera.
- Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Negara wajib mempercepat pengakuan hukum atas tanah adat dan menerapkan prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) secara ketat. Setiap proyek yang tidak memenuhi prinsip FPIC yang transparan dan akuntabel harus dibatalkan.
- Kedaulatan atas Nikel untuk Kemakmuran Nasional. Yusri menegaskan bahwa nikel di Halmahera adalah milik bangsa Indonesia dan seharusnya dikelola oleh negara, bukan hanya korporasi asing.
“Momentum ini adalah kesempatan emas untuk kita mengambil kendali pengelolaan tambang nikel di Halmahera, agar menjadi tambang yang ramah sosial dan lingkungan,” pungkasnya.
Hengkangnya GPFG dari proyek tambang di Halmahera menjadi cermin etika global: bahwa keuntungan ekonomi tidak sebanding dengan kehancuran ekologis. Dunia menilai peradaban bukan dari banyaknya mineral yang digali, tetapi dari seberapa beradab sebuah bangsa menjaga alamnya.
Selama masyarakat adat terus tersingkir dan hutan terus hilang, kata Yusri, maka istilah “pembangunan berkelanjutan” hanya akan menjadi slogan kosong di atas dokumen kementerian.
“Kita tidak butuh lebih banyak investor jika semua datang untuk menambang kehancuran. Yang kita butuh adalah pemimpin yang mengerti makna merawat bumi — bukan sekadar mengeksploitasinya,” tutup Yusri Abubakar, Sekretaris DPD GRIB JAYA Maluku Utara.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now













